Entri Populer

7 Jan 2011

Cermin Pemimpin: Cucuran Air Mata dan Sesenggukan Hati Bukan Untuk Ambil Simpati Belaka

Kamis, 6 Januari 2011 11:03:04


Ketika dibaiat menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz menangis tersedu-sedu.
Beberapa penyair mendatanginya dengan maksud menghiburnya, tapi ia menolak. Melihat ayahnya menangis hampir seharian, anaknya juga berusaha mencari tahu penyebabnya, tapi tidak berhasil. Istrinya, Fatimah, lantas menemuinya dan bertanya, "Wahai suamiku, mengapa engkau menangis seperti ini?" Umar pun menjawab, "Sungguh aku telah diangkat untuk memimpin urusan umat Muhammad SAW.

Aku lalu termenung memikirkan nasib para fakir miskin yang sedang kelaparan, orang-orang sakit yang tidak bisa berobat, orangorang yang tidak bisa membeli pakaian, orang-orang yang selama ini dizalimi dan tidak ada yang membela, orang-orang yang memiliki keluarga besar tapi hanya mempunyai sedikit harta, orangorang tua yang tidak berdaya, orang-orang yang ditawan atau dipenjara, serta orang-orang yang bernasib menderita di pelosok negeri ini. Aku sadar dan tahu bahwa Allah pasti akan meminta pertanggungjawabanku amanah ini. Namun, aku khawatir tidak sanggup memberikan bukti bahwa aku telah melaksanakan amanah ini dengan baik sehingga aku menangis."


Seraya menyeka air matanya, ia mengutip ayat, "Sesungguhnya aku takut kepada siksa hari yang besar (kiamat) jika mendurhakai Tuhanku."(QS Yunus [10]: 15).


Adakah pemimpin saat ini yang memiliki kesadaran eskatologis (pertanggungjawaban di hari akhir) seperti Umar? Faktanya, para pemimpin cenderung berpesta pora ketika memperoleh kemenangan dalam pemilu (pilpres dan pilkada), padahal amanah yang diberikan kepadanya itu sungguh berat dan harus dipertanggungjawabkan kepada publik dan di hadapan pengadilan Allah SWT kelak.

Menyadari betapa rakyatnya masih banyak yang miskin, menderita, dan sengsara, Umar memutuskan tidak tinggal di istana, tapi hanya menempati rumah sederhana tanpa pengawal pribadi dan satpam.


Beliau juga menolak menggunakan fasilitas negara, termasuk berbagai perhiasan yang diwariskan Khalifah Malik bin Marwan untuk istrinya.


Ketika syahwat politik untuk berkuasa membara, seseorang biasanya menjual diri dengan janjijanji politik yang muluk-muluk. Tapi ketika berkuasa, ia cenderung lupa dan tidak sadar diri. Janji tinggal janji. Keadilan tidak ditegakkan. Kekuasaan dijalankan menurut hawa nafsunya. Rakyat dilupakan, bahkan disengsarakan.


Begitulah potret penguasa yang lupa diri sekaligus lupa Allah SWT. "Janganlah kamu seperti orang orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik." (QS al-Hasyr [59]: 19).


Karena itu, penguasa harus sadar diri bahwa kekuasaan itu bukan kesempatan untuk meraih kenikmatan, tapi kesempatan untuk mengemban amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan publik dan Allah SWT.


Figur seperti Umar bin Abdul Aziz itulah pemimpin teladan yang sadar diri, tidak lupa rakyat, sekaligus tidak lupa kepada Allah SWT. Sungguh karakter pemimpin seperti itu di negeri ini masih sangat langka, meski kita sudah lama mendambakannya

5 Jan 2011

Penyerangan di Toilet Citos

Citos Aman, Toilet Dijaga Petugas Cleaning Service

 


Hadapi Pemilu 2014, PPP Tawarkan Diri Jadi Rumah Bagi Parpol Islam










Jakarta - Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menilai posisi partai Islam kurang menguntungkan selama tiga pemilu terakhir. PPP membuka diri untuk menjadi rumah besar bagi partai Islam di Indonesia guna menghadapi Pemilu 2014.

"PPP menawarkan dan membuka diri untuk menjadi rumah besar politik Islam di Indonesia. Insya Allah dengan demikian, 2014 akan menjadi titik balik kebangkitan partai Islam, tidak sebagaimana diramalkan ala garis lurus Pak Hasyim," kata Wasekjen PPP, M Romahurmuzy, kepada wartawan, di DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (5/1/2011).

PPP tidak membenarkan sepenuhnya prediksi Hasyim Muzadi terkait penurunan suara partai Islam di Pemilu 2014. Namun demikian setidaknya selama tiga periode pemilu suara partai Islam memang menurun cukup tajam.

"Penilaian itu hanya didasarkan atas kinerja 3 pemilu era reformasi, bukan atas apa yang dilakukan pasca Pemilu 2009. Memang jika semata mengacu kepada 3 pemilu, total suara partai berbasis Islam menurun dari 39% (1999) menjadi 26% (2009)," papar Romi.

Penurunan suara partai berbasis Islam, menurut Romi, dikarenakan isu perpecahan yang nyata-nyata menjatuhkan perolehan suara parpol Islam. Romi lantas mengusulkan agar partai Islam bersatu di Pemilu 2014.

"Isu perpecahan dan konflik, mendiskredit partai nasionalis Islam lebih besar ketimbang hal yang sama terjadi pada partai nasionalis-sekuler. Ibaratnya, jika ada perpecahan di berbagai tingkatan, akan ditinggalkan oleh pemilihnya," kata dia.

PPP berharap dengan persatuan partai Islam akan membangkitkan semangat juang partai Islam di Pemilu 2014.

"Karena hukumannya dahsyat, yaitu kursi terus mengalami penurunan dan pemimpin semakin ditinggalkan umatnya. Karenanya, mereka-mereka sekarang sedang kembali menata mental, merapikan barisan, untuk bersatu ke dalam partai yang mungkin menjadi gerbang aspirasi mereka," ujar Romi ( dar )

UU Parpol

Rabu, 5 Januari 2011 11:06:51


Kementerian Dalam Negeri akan berkoordinasi dengan Kemenkumham dalam pelaksanaan verifikasi partai politik.

Juru Bicara Kementerian Dalam Negeri, Reydonnyzar Moenoek, mengatakan, Kemendagri melalui Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) akan melaksanakan pemeriksaan data faktual, terkait syarat-syarat pendirian parpol.

"Verifikasi akan dimulai 17 Januari. Pelaksanaan pengujian lapangan akan disepakati lebih lanjut dengan Kemenkumham," ujar Donny.

Pelaksanaan tersebut, ujarnya, sesuai dengan Pasal 51 ayat (1) UU Partai Politik, yang menyebutkan proses verifikasi dilakukan 2,5 tahun sebelum penyelenggaraan pemilu. Dia mengatakan, proses verifikasi ini berlaku bagi semua parpol, termasuk parpol yang ada di parlemen. Pengujian lapangan dilakukan oleh Kantor Kesbangpol di Provinsi, Kabupaten/Kota dan Kecamatan.

Menurut Donny, hal tersebut dilakukan untuk memastikan parpol telah memenuhi syarat pendirian sesuai Pasal 2 UU parpol, yaitu harus memiliki kepengurusan di 100% provinsi, 75% kabupaten/kota di setiap provinsi, dan 50% kecamatan di setiap kabupaten/kota terkait.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM Aidir Amin Daud mengatakan pihaknya tengah menyusun prosedur operasi standar (standard operating procedure /SOP) untuk verifikasi partai politik (parpol) dan akan berkoordinasi dengan Kemendagri dalam pelaksanaanya (dar)

3 Jan 2011

Perubahan UU Parpol Penuh Muatan Kepentingan Politisi, Tidak Untuk Rakyat

Sabtu, 1 Januari 2011 15:47:37

Pengamat parlemen dari Indonesian Parliamentary Center (IPC), Ahmad Hanafi menyatakan, perubahan UU paket politik yang telah maupun sedang digodok di parlemen, sarat dengan kepentingan politik dan bisa menghambat tumbuh kembang partai baru.

UU paket politik terdiri dari tiga komponen. Pertama, perubahan UU No. 2 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu. Kedua, perubahan UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Ketiga, perubahan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. Dari ketiga komponen tersebut, revisi UU Partai Politik berhasil diselesaikan oleh DPR pada masa sidang kemarin.


"UU tentang Partai Politik menghambat munculnya partai baru dan menghalangi hak warga negara untuk mendirikan parpol," kata Ahmad.


Hal itu, menurutnya, terlihat dari syarat pendirian parpol, di mana parpol harus dibentuk oleh paling tidak 30 WNI yang telah berusia 21 tahun atau sudah menikah, di seluruh propinsi di Indonesia.


"Itu berarti 30 WNI dikali 33 propinsi di Indonesia, hasilnya sama dengan 940. Jadi, dibutuhkan minimal 940 orang untuk mendirikan parpol baru," jelas Ahmad.


Ia melanjutkan, revisi UU Penyelenggaraan Pemilu juga penuh dengan kepentingan politik dari partai-partai yang menggodoknya.


"Substansi paling penting dalam perubahan UU Penyelenggaraan Pemilu yaitu tentang pelibatan parpol di KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), maupun Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu," beber Ahmad.

Ia menyatakan, UU Penyelenggaraan Pemilu mencoba mengkooptasi penyelenggaraan pemilu dengan memasukkan unsur parpol ke dalam pihak penyelenggara pemilu.


"Kalangan parpol boleh menjadi anggota KPU dan Bawaslu, meskipun calon yang berasal dari parpol harus mengundurkan diri lebih dulu dari partainya saat mendaftar," terang Ahmad.


Khusus untuk Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, semua parpol yang ada di DPR bahkan secara otomatis menempatkan seorang wakilnya di sana.


Sementara komponen terakhir dari UU paket politik, yakni revisi UU Pemilu, baru akan dibahas pada masa sidang DPR mendatang. Namun tensi politik dari UU ini sudah mulai terasa dari sekarang.

"Penyederhanaan parpol yang akan masuk ke DPR menjadi isu sentral dalam UU ini. Fraksi-fraksi di DPR saling tarik-menarik mengenai usulan besaran PT (Parliamentary Treshold)," kata Ahmad lagi.


Fraksi besar mengusulkan angka PT di atas 5 persen, sedangkan fraksi kecil cenderung ingin mempertahankan angka 2,5 persen seperti pada Pemilu 2009 lalu. Ahmad menjelaskan, PT dianggap sebagai instrumen untuk menyederhanakan parpol. Padahal, menurutnya, PT memiliki konsekuensi besar. "PT yang terlalu besar berpotensi menghilangkan suara konstituen dan mematikan kompetisi parpol," tandas Ahmad.

Pada akhirnya, ia mengkhawatirkan hal tersebut akan memunculkan oligarki segelintir parpol dalam peta perpolitikan tanah air. "Dari tiga komponen UU paket politik itu, jelas sekali terlihat kepentingan parpol yang coba disisipkan di dalam perubahan UU," ujar Ahmad menarik kesimpulan.

Anggota Komisi II dari Fraksi Golkar, Taufik Hidayat, mengatakan bahwa Golkar menginginkan peningkatan PT untuk kepentingan penataan sistem politik di tanah air.

"Membentuk partai adalah kebebasan rakyat. Tapi kebebasan itu perlu penataan untuk kepentingan yang lebih besar," ujarnya secara terpisah. (zai)