Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh. Mohon pencerahannya tentang pernikahan beda agama. Jika kita perhatikan, 'hidup bersama' atau 'kumpul kebo' pada prakteknya 'hampir tidak ada bedanya' dengan pasangan suami-istri yang sudah menikah. Hubungan... secara manusia dalam konteks 'hidup bersama tanpa sebuah pernikahan' tentunya didasari oleh 'satu alasan atau lebih' yang yang mengikat hubungan mereka. Tetapi, ketika satu alasan tersebut telah hilang, maka hal ini sangat berpengaruh terhadap ikatan dalam hubungan mereka. Hubungan semacam ini, sama sekali tidak memerlukan peran agama di dalamnya. Salah satu alasannya, karena komitmen yang terjadi berdasarkan aturan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Tetapi persoalannya adalah, kedua belah pihak yang membuat aturan tersebut pasti memiliki 'self interested' untuk kepentingan dirinya. Ketika kepentingan diri seseorang itu terpenuhi, maka komitmen tersebut akan berjalan dengan baik, tetapi jika tidak,
maka rusaknya hubungan di antara mereka pasti tidak terhindarkan lagi. Hal ini sesungguhnya merupakan satu hal yang kemudian dapat menjadi rumit, bahkan bisa jadi menjadi sangat rumit atau sebaliknya. Intinya, pada hubungan semacam ini, sama sekali tidak diperlukan peranan agama di dalamnya, karena aturan, cara, jalan dan tujuan, bukan dilandaskan karena agama. Dalam Islam, manusia diberikan tujuan atas kehidupannya di dunia ini, diberikan cara terbaik menjalani kehidupan ini berdasarkan aturan-aturan yang sangat jelas, sehingga aturan dan cara tersebut akan membentuk Islam sebagai satu jalan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh Allah. Salah satu tujuan pokok manusia diciptakan oleh Allah adalah untuk beribadah, dan Allah memberikan petunjuk-Nya agar manusia bisa beribadah sepanjang waktu dalam kehidupannya. Dalam Islam, ibadah tidak hanya terkait dengan hal yang bersifat ritual (shalat, puasa, dan lain-lain) semata-mata, tetapi semua
aspek dalam Islam memiliki nilai ibadah. Dalam sebuah ilustrasi sederhana, jika kita makan, maka ia bisa menjadi satu nilai ibadah atau tidak tergantung dari aturan yang ia gunakan. Jika ia memulainya dengan 'Bismillah' Insya Allah, pada saat ia makan, itu menjadi nilai ibadah, dan ketika dirinya tidak mengucapkan 'bismillah', maka ia akan sama mendapatkan makanan, tetapi ia tidak mendapatkan nilai pahala dari apa yang ia makan. Semudah itu Allah memberikan petunjuk kepada manusia agar mereka senantiasa mendapatkan pahala dari setiap apa yang dilakukan. Hal ini tidak berbeda dengan hubungan antara pria dan wanita, 'hidup bersama' dan menikah. Dalam prakteknya 'hampir tidak jauh berbeda', tetapi pada hakikatnya, kedua hal tersebut sesungguhnya sangat jauh berbeda. Salah satu perbedaan yang sangat signifikan adalah dalam 'melegalisasi' (menghalal-kan) hubungan pria dan wanita adalah dengan aturan yang ditetapkan oleh Allah, bukan aturan yang ditetapkan
oleh manusia. Jika manusia mengikuti aturan Allah, maka ketika ia melakukan hal tersebut (seperti ilustrasi makan) akan bernilai ibadah, dan ketika ia tidak menggunakan aturan Allah dalam menjalani sesuatu, maka sudah dapat dipastikan ia tidak bernilai ibadah. Kesadaran semacam ini (bahwa nikah adalah ibadah), masih sangat kurang disadari sepenuhnya oleh pasangan yang akan menikah. Walaupun keduanya beragama islam. Aturan dalam pernikahan seringkali hanya dilaksanakan sebatas pada ritual akad nikah saja, lalu setelahnya, mereka menjalani kehidupan rumah tangga mereka tidak dengan aturan yang Allah berikan kepada mereka. Jika demikian, pernikahan mereka sudah dapat dipastikan akan sangat jauh dari sakinah, mawaddah dan warahmah. Dalam tulisan "Meraih berkah dalam kehidupan rumah tangga" setidaknya kita bisa mengetahui bagaimana Islam mengatur hubungan dalam sebuah rumah tangga. Tetapi, sebagai catatan, dalam artikel tersebut, pasangan suami istri
harus mengikuti aturan dari Tuhan yang sama yaitu Allah, yang artinya, pengakuan terhadap Tuhan dari keduanya adalah Allah (satu Tuhan). Dan tulisan tersebut pasti akan sangat membingungkan, jika dijalani oleh mereka yang mengambil juga aturan selain aturan Allah (artinya ada dua tuhan). Maka pertanyaan mendasarnya adalah, tuhan manakah yang akan di imani...?, Dan apakah mungkin seseorang itu bisa mengakui dua tuhan (karena berkaitan dengan aturan yang akan dijalankan...?). Tentunya, jawaban dari hal ini sangat bergantung dari seberapa kuat akidah seseorang, dan kita tidak perlu membahasnya di sini. Hanya agama yang memerintahkan manusia untuk beribadah dan dalam konteks ibadah, yang kita lakukan harus jelas aturan dan caranya. Dalam konteks menikah berbeda agama, memang tersebar di sekitar kita dua pendapat, ada yang membolehkan (walaupun pendapat ini sangat lemah), dan ada yang mengharamkan. Marilah kita lihat pendapat yang pertama, pendapat ini
berasal dari pemahaman mereka pada ayat ; “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu,..." (Al-Maidah ayat 5). Pendapat yang membolehkan menikahi wanita yang berbeda agama di bantah oleh mayoritas ulama. Mayoritas ulama berdasarkan atsar Rasulullah dan para sahabat mengatakan, yang di maksud dengan wanita ahli kitab, adalah mereka yang di nikahi sebelum datangnya Rasulullah dengan membawa risalah Islam, dan setelah datangnya Rasulullah dengan risalah Islam, maka mereka tidak lagi diperbolehkan, kecuali, wanita tersebut masuk ke dalam Islam terlebih dahulu. Hal ini sebagaimana ayat ; "Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke syurga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran". (Al-Baqarah ayat 221) Melalui uraian singkat di atas, kebanyakan mayoritas ulama dan para sahabat Rasulullah, mengikuti pendapat yang kedua, karena pendapat yang pertama yang membolehkan sangat lemah kekuatan dalilnya, dan tidak pernah di contohkan oleh Rasulullah dan para sahabat. Seperti pada ayat ; "Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih
mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana". (Al-Jumu’ah ayat 10) Setelah mendengar ayat ini, 'Umar bin Khatab langsung menceraikan istrinya yang tidak mau masuk Islam. "Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan
perempuan-perempuan kafir.." . Karena pada prinsipnya (sesuai dengan akidah mereka), ulama berpendapat melalui sebuah ungkapan, "Bagaimana kita bisa mencintai sesuatu yang tidak di sukai oleh Allah...?". Atau dengan kata lain, "Bagaimanakah sebuah rumah tangga akan di rahmati Allah, jika salah satu dari mereka tidak menganggap Allah sebagai tuhan (musyrik)..?". Mengenai bagaimana sikap Allah terhadap manusia yang musyrik dan kafir, silakan anda rujuk ke dalam Al Quran, disana cukup jelas Allah menyatakan sikap-Nya. Sedangkan ada yang bertanya, dengan cara apa dan dimana menikah berbeda agama bisa dilakukan..? Hal ini sangat bergantung dari keimanan seseorang sebagai seorang muslim dan komitmennya sebagai hamba Allah. Aturan tuhan yang manakah yang akan di ambil, itulah yang menunjukkan keyakinan seseorang terhadap tuhannya. Jika ia meyakini tiada tuhan selain Allah, maka hanya dengan cara Islam dan dengan pasangan yang menerima agama Islam anda akan
menikah, jika tidak, maka ia menikah dengan cara yang bukan dari agama islam, yang sekaligus berarti pernikahan dirinya tidak menjadi nilai ibadah. Wallahu'alam. Bahwa salah dasar keharmonisan dan kelestarian sebuah pernikahan antara lain keduanya (suami-istri) harus betul-betul memahami agama Islam secara utuh, yang kemudian pemahaman itu direalisasikan dalam kehidupannya sehari-hari. Jika seorang istri itu seorang muslimah yang agamis, maka dia akan menunaikan kewajiban-kewajibannya dengan baik dalam memenuhi hak-hak dengan suaminya, hak-hak anak dan hak rumah tangga sesuai dengan apa yang telah diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rosul-Nya. Kemudian jika seorang suami yang agamis, tentunya dia akan melaksanakan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga. Suami akan memenuhi atau memberikan hak-hak anak-anaknya dalam membina rumah tangga yang harmonis penuh kasih sayang dan kebahagiaan. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat
Ar-Rum ayat 21 menjelaskan, "Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Dan sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir". Ayat ini menunjukkan bahwa hidup berumah tangga itu harus : (1) suami istri saling membina kehidupan yang rukun, tenang dan bahagian (sakinah), (2) untuk memperoleh rasa mawaddah, suami-istri adalah senasib sepenanggungan, susah sama-sama susah, bahagia sama-sama bahagia, (3) saling asih, asuh dan asah dengan penuh kasih sayang. Perkawinan yang dibina dengan tujuan ini walau mereka sudah berusia tua akan tetap rukun dan bahagia. Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penghulu dan kudwah mensehati orang yang akan melaksanakan perkawinan menitikberatkan pilihannya terhadap agama, artinya satu agama (bukan beda
agama). Dalam hadist, beliau bersabda, "Wanita dikawini karena empat perkara, yaitu karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka titik beratkanlah pilihan itu terhadap agama, niscaya engkau akan bahagia" (HR Bukhari dan Muslim). Di samping itu, Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan nasehat kepada para wali mempelai wanita agar dapat mencarikan mempelai pria yang agamis sebagaimana Rosulullah bersabda, "Jika datang kepadamu orang yang kamu ridhoi agama dan akhlaknya maka kawinkanlah dia, jika tidak kamu lakukan maka akan menjadikan fitnah di atas bumi dan kerusakan akhlak" (HR Turmudzi). Bila seorang muslimah yang agamis dan dia berada di bawah kekuasaan sang suami yang tidak pernah menjadikan agama dan moralnya sebagai bahan acuan maka alangkah besarnya fitnah yang akan dihadapinya. Tidak bisa dipungkiri lagi, mereka akan dibentuk dengan penyelewengan-penyelewengan, mereka akan dididik
dengan pendidikan yang rusak. Pada akhirnya mereka akan mempunyai akhlak yang tidak terpuji, bahkan akan membuat kerusuhan-kerusuhan. Seorang muslim atau muslimah yang bertanggungjawab tentunya mendapatkan usrotun muslimatun (keluarga yang berasaskan Islam). Karena dari keluarga muslim yang melaksanakan nilai-nilai ajaran islam inilah akan terwujud masyarakat islami, saling taawwun, saling menjaga, saling bahu membahu untuk menegakkan ajaran islam. Kalau keluarga itu terwujud, maka berpengaruh besar terhadap masyarakat, bangsa dan negara. Dari uraian tersebut di atas, ada suatu kasus yang menginginkan agar pernikahan satu agama, dan hal ini dilakukan oleh orang biasa (tidak mempunyai ilmu agama yang mumpuni, artinya dasar agamanya biasa-biasa saja atau sedikit sekali). Ada ceritera unik dan justru yang ceritera adalah orangnya sendiri. Orang ini keturunan Cina yang telah beragama Islam. Uniknya, ceitera ini dimulai dari tempat mesum (maksiat) di
lokalisasi Mangga Nesr (istilahnya : Mabes). Rupanya si engkoh ini berlangganan seorang pramu saji nafsu di Mabes. Hampir tiap hari, dia berkunjung dan yang dicarinya adalah wanita yang sama. Pada suatu malam, sehabis berkencan, si engkoh berkata kepada wanita langganannya, “Mau enggak jadi istriku..?”. “Enggak mau ah…! Kamu kan tidak sunat?” jawabnya. Mendengar jawabannya, si engkoh pun pamit, langsung menghilang beberapa hari sehingga si wanita langganannya merasa bahwa si engkoh ini sudah bertaubat karena tidak akan muncul-muncul lagi. Tiba-tiba pada suatu malam si engkoh muncul juga, lalu mengajak si wanita langganannya ngobrol, dan si engkoh menjelaskan bahwa dia tidak dating beberapa hari karena sunat. Wah, si wanita pun tercengang akan pengakuan si engkoh itu. Kemudian si engkoh mengajak wanita itu untuk kawin pula, namun si wanita menggeleng-gelengkan kepalanya dan tidak mau dinikahi si engkoh. Akhirnya, si engkoh mendesak wanita itu,
“Apa alasanmu tidak mau dinikahi untuk menjadi istriku?”. Si wanita menjelaskan, “Engkoh kan belum jadi orang Islam !”. Kemudian si engkoh pamit pulang. Beberapa hari setelah itu, si engkoh muncul lagi menemui si wanita langganannya, lalu memperlihatkan sehelai surat dari KUA bahwa dia sudah menjadi orang muslim. Si engkoh menagih janji dari si wanita langganannya, dan akhirnya si wanita itu pun bersedia dijadikan istrinya. Dalam kasus lain, ada suatu keluarga yang sebelumnya beragama lain (non Islam), terus keluarga tersebut beralih beragama Islam, apakah perlu dengan akad nikah kembali? Bagaimana anak-anaknya, apakah merupakan anak haram, padahal telah beragama Islam? Wallahu'alam. Kasus tersebut adalah sebagai berikut : 1. Laki-laki itu sudah berkeluarga, bahkan sudah memiliki anak. Hidup mereka rukun dan bahagia. Pada suatu hari sang suami berkata kepada istrinya, bahwa ia ingin masuk agama Islam. Istrinya marah bukan main,
disangkanya sang suami masuk agama Islam itu bertujuan kawin lagi, sehingga mengancamnya bila masuk agama Islam maka akan kabur dari rumah. Biasa, sang suami menyangka ancaman itu hanya gertakan belaka. Karena sudah memperoleh hidayah, mak ia pun tetap melakukan keinginannya masuk agama Islam. Setelah mendengar keislaman suaminya, sang istri betul-betul melaksanakan ancamannya untuk kabur dari rumah. Dia minggat dari rumah, ditinggalkannya semua putera puterinya dan kembali ke rumah orang tuanya dengan mendasarkan pada kecurigaan suaminya masuk agama Islam untuk menikah lagi. Laporan ke orang tuanya pun demikian, sehingga terpengaruh oleh nafsu dan fitnahnya. Dia katakana kepada orang tuanya, bahwa suaminya tidak mencintai lagi, sudah beragama Islam dan kawin lagi dengan wanita lain. Tentu saja sang mertua marah besar karena anak yang disayanginya disia-siakan oleh menantunya. Pendek ceritera, sang mertua pun turun tangan dan gelap mata. Ketika bertemu
dengan sang menantu, langsung “ketupat Bengkulu” melayang beberapa kali di wajah sang menantu. Wajahnya menjadi bengkak-bengkak, sampai berobat ke rumah sakit. Ini belum berakhir, karena tempat tinggal adalah milik mertua, dia pun disuruh keluar atau pindah dari rumah tersebut. Putera dan puteri diambil oleh mertua, dan si menantu terpaksa hijrah kemana. Mendengar ceritera yang diderita dan dialami oleh seorang muallaf tersebut karena dia bermukim di sebuah masjid, maka banyak kaum muslimin yang bersimpati kepadanya dan bersedia membantu untuk meringankan penderitaannya. Bahkan ada yang bersedia memberikan pekerjaan, memberikan bantuan usaha, ada yang bersedia mengambil menantu, namun semuanya itu ditampiknya karena sadar sesadar sadarnya bahwa seorang muallaf yang baru masuk agama Islam selalu diuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kenapa semua bantuan ditampik dengan sopan? Karena dia ingin memperlihatkan kepada Tuhannya bahwa dia mampu
mengatasi ujian yang dihadapinya. Justru dengan kurang sibuknya itulah, dia dapat belajar banyak tentang ajaran agama Islam dan dia pun melamar menjadi gharim (pembersih dan penjaga) masjid. Sehari-hari dihabiskan waktunya di masjid untuk belajar agama Islam dan bermunajat kepada-Nya. Sesekali lewat juga di depan rumahnya, dan ternyata dia rindu kepada anak-anaknya. Namun mendengar dari para tetangganya bahwa anak-anaknya telah pindah ke rumah mertuanya, sedang rumah tempat tinggal dahulu telah dikontrakkan. Setiap selesai sholat, dengan khusyu’ dan tawadhu’, dia bermohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar dipertemukan dengan anak-anaknya, dan percaya akan janji Allah sesuai firman-Nya, “Sesungguhnya bersama derita itu ada kesenangan, dan sesungguhnya setelah derita datang kebahagiaan” (Asy-Syarh ayat 5-6). Pada suatu hari, permohonan doa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala telah dikabulkan bahwa dia dipertemukan dengan putra sulungnya
yang baru pulang dari sekolah. Dipanggilnya anakitu, dan ternyata bukan saja dia yang merindukannya tetapi anaknya juga sangat merindukan sosok ayahnya. Melihat hal tersebut, tubuh ayahnya yang kurus dan kurang terawat serta pakaiannya yang menyedihkan, sang anak pun menangis di pelukan sang ayah. Setelah melepas rindu, mereka pun berpisah, dan sang ayah dengan langkah gontai kembali ke tempat persembunyiannya yaitu di masjid. Sang ayah tidak sadar, ketika ia kembali ke masjid itu, sang puteranya telah memerintahkan supir untuk mengikutinya dari kejauhan. Pada suatu hari, selepas sholat ‘ashar ketika sedang membersihkan permadani masjid, tiba-tiba seorang pengurus masjid memanggilnya. Kata pengurus masjid, ada tamu yang ingin bertemu dengannya. Dia pun menuju ke kantor masjid, dan tidak tahu siapa yang akan ditemuinya saat itu. Begitu berada di pintu kantor masjid, kakinya terpaku tidak dapat bergerak dan lidahpun kelu tidak dapat berbicara, karena
tamunya adalah istri dan kedua anaknya. Secara spontan sang istri berlari menghambur ke arahnya, berikut kedua mertua dan anak-anaknya. Mereka bertangis-tangisan, dan ayah mertua menjabat tangannya dengan mata memerah berlinanglah air matanya. Mertua perempuan pun mengelus-elus rambunya yang sudah mulai ditumbuhi uban. Mertua laki-laki berkata, “Ma’afkan papa, karena terdorong emosi sudah menyakitimu dahulu”. Anak-anaknya pun berkata sambil menangis, “Papa pulang yuk?, mama sudah tidak marah lagi..”. Tak ada kata-kata yang terucap di mulut lelaki tersebut karena lidahnya kelu, hanya pandangannya memandang ke wajah sang istrinya, dan sang istri menangis menghiba hati, juga memohon maaf kepadanya. Akhirnya, dengan suara pelan berkata, “Papa tidak bisa pulang bersama dengan kalian, selagi kalian tidak mau menerima agama papa !”. Tiba-tiba, istrinya berkata, “Bang pulanglah, anak-anak semua rindu pada abang, dan kami tidak hanya akan
menerima agamaabang, kami pun semua mau menjadi orang Islam”. “Subhanallah…!”. 2. Ada ceritera dari Kota Malang, Jawa Timur (yang ceritera adalah Kepala Kantor Urusan Agama) setempat. Ada seorang laki-laki WNI keturunan yang datang kepadanya, menyatakan ingin masuk Islam. Sebagai seorang Kepala KUA, tentu saja niat orang itu diterima (dilaksanakan), maka dengan segera laki-laki itupun disyahadatkan dan selanjutnya laki-laki tesebut pamit. Dikira Kepala KUA urusan tersebut sudah selesai, dan besoknya ada seorang wanita datang menemuinya, meskipun sedang sibuk melayani tamu, si wanita tersebut memaksakan diri untuk bertemu dengannya. Setelah diterima, ternyata si wanita ini adalah istri dari laki-laki kemarin yang telah di-islamkannya. Sang istri menuntut Kepala KUA karena telah menikahkan suaminya. Kepala KUA pun jadi melongo atau terkejut, karena setahunya dalam beberapa hari tidak ada menikahkan siapapun. Untuk itu Kepala KUA menjelaskan
kepada si wanita tersebut bahwa memang benar suami anda telah datang kemarin untuk dibimbing ke-Islaman namun tidak dinikahkan. Setelah ditanyakan kepada sang nyonya tersebut, apa bukti bahwa suaminya nikah lagi? Sang nyonya menjelaskan bahwa suaminya sudah tidak mau lagi melayaninya sejak pulang dari Kantor Urusan Agama. Akhirnya, Kepala KUA pun memanggil suami nyonya tersebut, dan setelah hadir lalu ditanya, “Betulkah saudara kawin lagi?”. “Tidak pak” jawabnya. Kemudian, Kepala KUA bertanya lagi, “Mengapa sampeyan tidak mau melayani istri sampeyan lagi?”. “Lho pak, saya kan belum sembuh khitannya, bagaimana bisa melayani istri?” jawabnya. Kepala KUA pun tersenyum sendiri. Pantas didekati istri selalu menghindar, karena belum sembuh, dan istri pun sangat curiga saja. Selanjutnya, oleh Kepala KUA menjelaskan kepada nyonya tersebut mengenai keadaan sang suami dan sang nyonya minta jaminan agar suaminya tidak akan kawin lagi di depan
istrinya. Oleh si laki-laki itu pun diucapkan janjinya, dan selanjutnya pamit. Beberapa hari kemudian, tiba-tiba sang nyonya muncul lagi ke Kantor Urusan Agama untuk menemui Kepala KUA. Dikiranya sudah selesai urusannya, tapi rupanya belum. “Lhoh mau apa lagi bu?” Tanya Kepala KUA. “Saya pun mau masuk Islam pak Kepala KUA!” jawab sang nyonya dengan lantang. “Apa alasan nyonya mau masuk Islam?” tanya Kepala KUA. Si nyonya menjawab dengan malu-malu. “Islam lain laso pak KUA, lebih enak!”. Tentu saja Kepala KUA kurang mengerti yang dimaksud ucapan si nyonya. Barulah mengerti betul, ketika suaminya menjelaskan, bahwa setelah sehat (sembuh) sunat, dia bergaul dengan istrinya, dan setelah itu istrinya menyatakan ingin masuk Islam. Wah, luar biasa, fikir Kepala KUA sambil tersenyum seorang diri dan menggaruk-garuk kepalanya yang botak dan yang tidak gatal….he…he… Demikianlah yang dapat ditambahkan dari note saudara Abdul Azis
Setiawan, semoga bermanfaat…amiin. Bilahit taufik wal hidayah, wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh (MM 04052011)Lihat Selengkapnya
Oleh: Suprih Koesoemo